Artikel berikut ini masih diambil dari
sebuah buku yang diterbitkan oleh JATAM, dengan judul Menambang Petaka
Di Meru Betiri. Akan kami tuliskan kembali untuk anda, semoga
bermanfaat.
Seperti kawasan di Indonesia lainnya, Meru Betiri memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat sekitarnya. Meru Betiri dikelilingi oleh 7 desa penyangga, yaitu enam desa di wilayah kabupaten Jember, Curahnongko, sanenrejo, Curahtakir, Wonoasri, Andongrejo, Mulyorejo, dan satu desa di wilayah Kabupaten Banyuwangi, yaitu desa Sarongan.
Selain dikelilingi desa, Meru Betiri juga dikelilingi oleh perkebunan swasta, hutan Perhutani dan Samudera Indonesia. Terdapat enam perkebunan swasta yaitu : kebun Malangsari, Sumber Jambe, Tebrasala, Kota Blater, Kalisanen dan Sukamade. Sebenarnya masyarakat yang menghuni desa desa sekitar Meru Betiri telah datang sejak lama sebelum kawasan itu menjadi Taman Nasional. Desa Sanenrejo misalnya, sejarah pemukimannya dimulai sejak tahun 1922, tak jauh beda dengan sejarah pemukiman di desa Curahtakir, tetangganya. Masyarakat memiliki sejarah interaksi yang panjang sejak masa penjajahan Belanda dengan kawasan hutan ini, sebelum kawasan ini berstatus sebagai kawasan konservasi.
Pada tahun 1950 masuklah Perkebunan PT. Bande Alit di kawasan Jember. Mereka mengusahakan tanaman tahunan seperti jenis kopi dan karet seluas 1.057 ha. Sepuluh tahun kemudian, disusul oleh masuknya PT Soekamade Baru di daerah Sukamade, Banyuwangi. Mereka mengusahakan tanah seluas 1.097 ha. Terbukanya lapangan pekerjaan di perkebunan perkebunan tersebut mengundang banyak pendatang masuk ke kawasan ini.
Hasil Pertanian
Sebagian besar penduduk yang tinggal di sekitar kawasan Meru Betiri bermata pencaharian sebagai petani. Tidak kurang dari 32.038 penduduk atau lebih dari 75 persen penduduk yang tinggal di desa sekitar Meru Betiri menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam atau menjadi buruh tani. Luas kepemilikan lahan mereka rata rata sebesar 0, 204 ha per kk. Sistem pertanian yang diterapkan adalah sistem tadah hujan. Jika musim kemarau atau musim paceklik tiba, dimana air tanah tak cukup untuk menanam, petani dan buruh tani ini sebagian mencari alternatif pekerjaan lain yaitu mengambil hasil hutan dari Meru Betiri. Pertimbangan lainnya adalah pada saat itu pekerjaan pertanian telah selesai atau tak lagi membutuhkan banyak tenaga kerja.
Hasil Perkebunan
Sebagian besar hasil perkebunan di Kabupaten Jember berasal dari kawasan di sekitar Meru Betiri. Komoditi yang dihasilkan adalah padi, kopi, tembakau dan lain sebagainya. Luas areal perkebunan di Kabupaten Jember mencapai 78.590,74 ha atau meliputi 23 persen luasan Kabupaten Jember. Sampai saat ini usaha perkebunan merupakan kegiatan ekonomi penting yang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah. Komoditi yang dihasilkan dari sektor perkebunan sebagian besar digunakan untuk kebutuhan ekspor, seperti tembakau, kopi, kakao, karet, cengkeh, kelapa dan lainnya. Bahkan Jember menjadi pusat program penelitian dan pengembangan tanaman kopi dan kakao di Indonesia.
Komoditi perkebunan lainnya yang tak kalah penting adalah tembakau. Komoditi ini merupakan komoditi ekspor andalan bagi Kabupaten Jember, baik tembakau jenis Besuki Na-Oogst maupun Besuki Voor-Oogst. Luas lahan tembakau Jember saat ini mencapai 13.798 ha. Tembakau hasil perkebunan Jember masih mampu bersaing di pasaran dunia. Produk cerutu asal Jember misalnya, dinilai bagus untuk komoditi ekspor. Bahkan tembakau hasil perkebunan di Jember memiliki kualitas ekspor yang salah satunya dikirim ke pusat tembakau dunia, yaitu di Bremen, Jerman.
Salah satu lahan perkebunan milik masyarakat itu adalah Mbaban Silosanen, tempat eksplorasi tambang emas dipusatkan dan merupakan pusat produk kopi masyarakat. Untuk satu hektar lahan kopi bisa dihasilkan 1 – 2 ton buah kopi. Harga komoditi ini dipasaran mencapai lima ribu rupiah per kilogram. Dari satu hektar lahan perkebunan kopi, masyarakat bisa mendapatkan penghasilan 3 – 5 juta per panen. Masyarakat lebih membutuhkan ahli pengolahan hasil hasil produk pertanian, terutama kopi daripada ahli tambang emas di daerah ini. Kebun kopi rakyat ini bahkan berhasil mengantarkan haji massal dari Silo ke Mekkah pada tahun 1998.
Ada 6 buah perkebunan swasta yang berhimpitan bahkan masuk dalam bagian kawasan atau enclave Meru Betiri. Buruh kebun menjadi bagian yang tak terpisahkan begitu saja dari kawasan Taman Nasional. Mereka memanfaatkan kawasan Taman Nasional untuk mencari rumput, kayu, rotan, madu dan burung. Perkebunan ternyata juga dihidupi oleh hutan, ketersediaan air di kawasan perkebunan sepenuhnya bergantung kepada kawasan hutan yang menyediakan sumber air bersih.
Hasil Hutan
Hasil hutan Meru Betiri sangat beragam, terutama jenis tanaman obat. Biasanya mereka memiliki musim panen berbeda. Hampir setiap tahun tidak ada waktu kosong bagi pengambilan hasil hutan. Nilai ekonomi dan tataniaga tumbuhan obat pada tingkat pengumpulan mencapai lebih dari Rp 60.789.000 per musim panen. Mujenah, 1993, menemukan data bahwa dari kegiatan pemungutan tumbuhan obat tersebut, para pengumpul yaitu masyarakat sekitar kawasana taman nasional, memperoleh tambahan pendapatan sebesar 13,6 persen dari pendapatan pokoknya. Bulan Mei hingga Juni adalah musim panen madu hutan dan buah pakem atau Pangium edule. Pada bulan tersebut Pakem yang bisa dipanen bisa mencapai 3.021 kg. Atau pada musim panen tumbuhan obat jenis kedawung, bisa dihasilkan 2.074 kg, jenis joholawe sebanyak 1930 kg dan jenis kemukus mencapai 556 kg. Belum lagi jenis lainnya seperti cabe jawa ataupun pule pandak yang merupakan bahan dasar pembuatan semua jenis jamu. Juga pendapatan dari beragam hasil hutan lainnya seperti buah aren, salak, durian, rotan, kemiri, kolang kaling, bunga padmosari, cabe hutan, kedondong, ijuk, daun pisang atau berbagai jenis burung.
Bambu dan Kayu
Salah satu tipe khas hutan Meru Betiri adalah hutan bambu. Hutan inilah yang banyk dikunjungi masyarakat untuk diambil bambunya, baik untuk keperluan sendiri atau komersil. Hutan Meru Betiri memenuhi hampir seratus persen kebutuhan bambu masyarakat sekitar kawasan dan kebun sekitarnya. Padahal kebutuhan bambu daerah Jember sebesar lebih dari 10 juta batang per tahun. Sebagian besar kebutuhan tersebut dipenuhi oleh hutan bambu Meru Betiri. Kayu digunakan masyarakat untuk bahan membuat rumah, juga dimanfaatkan sebagai bahan bakar rumah tangga dan industri rumah tangga, misalnya untuk bahan bakar pabrik tahu, tempe dan genting, serta kerajinan. Kayu dan bambu ini bagi masyarakat Andongrejo, merupakan komoditi penting yang paling banyak menghasilkan uang.
Disamping potensi tanaman dan hewan, potensi tak hidup juga menjadi bagian dari interaksi masyarakat desa penyangga dengan TN. Meru Betiri. Sketsa kebun, transek, peta desa menunjukkan interaksi yang cukup erat antara keduanya baik secara langsung maupun sebaliknya. Sudah sejak lama masyarakat menggunakan air sungai yang berhulu di hutan Meru Betiri sebagai tempat untuk mandi, mencuci, mengairi sawah, air minum bahkan juga alat transportasi. Air ini juga menghidupi kebun kebun di sekitarnya. Saat kemarau datang dimana sumber air di desa kering, beberapa mata air di kawasan hutan masih menyediakan air dengan ikan dan udang yang hidup di dalamnya.
http://betiri.blogspot.com/2010/04/meru-betiri-sumber-hidup-masyarakat.html
Seperti kawasan di Indonesia lainnya, Meru Betiri memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat sekitarnya. Meru Betiri dikelilingi oleh 7 desa penyangga, yaitu enam desa di wilayah kabupaten Jember, Curahnongko, sanenrejo, Curahtakir, Wonoasri, Andongrejo, Mulyorejo, dan satu desa di wilayah Kabupaten Banyuwangi, yaitu desa Sarongan.
Selain dikelilingi desa, Meru Betiri juga dikelilingi oleh perkebunan swasta, hutan Perhutani dan Samudera Indonesia. Terdapat enam perkebunan swasta yaitu : kebun Malangsari, Sumber Jambe, Tebrasala, Kota Blater, Kalisanen dan Sukamade. Sebenarnya masyarakat yang menghuni desa desa sekitar Meru Betiri telah datang sejak lama sebelum kawasan itu menjadi Taman Nasional. Desa Sanenrejo misalnya, sejarah pemukimannya dimulai sejak tahun 1922, tak jauh beda dengan sejarah pemukiman di desa Curahtakir, tetangganya. Masyarakat memiliki sejarah interaksi yang panjang sejak masa penjajahan Belanda dengan kawasan hutan ini, sebelum kawasan ini berstatus sebagai kawasan konservasi.
Pada tahun 1950 masuklah Perkebunan PT. Bande Alit di kawasan Jember. Mereka mengusahakan tanaman tahunan seperti jenis kopi dan karet seluas 1.057 ha. Sepuluh tahun kemudian, disusul oleh masuknya PT Soekamade Baru di daerah Sukamade, Banyuwangi. Mereka mengusahakan tanah seluas 1.097 ha. Terbukanya lapangan pekerjaan di perkebunan perkebunan tersebut mengundang banyak pendatang masuk ke kawasan ini.
Hasil Pertanian
Sebagian besar penduduk yang tinggal di sekitar kawasan Meru Betiri bermata pencaharian sebagai petani. Tidak kurang dari 32.038 penduduk atau lebih dari 75 persen penduduk yang tinggal di desa sekitar Meru Betiri menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam atau menjadi buruh tani. Luas kepemilikan lahan mereka rata rata sebesar 0, 204 ha per kk. Sistem pertanian yang diterapkan adalah sistem tadah hujan. Jika musim kemarau atau musim paceklik tiba, dimana air tanah tak cukup untuk menanam, petani dan buruh tani ini sebagian mencari alternatif pekerjaan lain yaitu mengambil hasil hutan dari Meru Betiri. Pertimbangan lainnya adalah pada saat itu pekerjaan pertanian telah selesai atau tak lagi membutuhkan banyak tenaga kerja.
Hasil Perkebunan
Sebagian besar hasil perkebunan di Kabupaten Jember berasal dari kawasan di sekitar Meru Betiri. Komoditi yang dihasilkan adalah padi, kopi, tembakau dan lain sebagainya. Luas areal perkebunan di Kabupaten Jember mencapai 78.590,74 ha atau meliputi 23 persen luasan Kabupaten Jember. Sampai saat ini usaha perkebunan merupakan kegiatan ekonomi penting yang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah. Komoditi yang dihasilkan dari sektor perkebunan sebagian besar digunakan untuk kebutuhan ekspor, seperti tembakau, kopi, kakao, karet, cengkeh, kelapa dan lainnya. Bahkan Jember menjadi pusat program penelitian dan pengembangan tanaman kopi dan kakao di Indonesia.
Komoditi perkebunan lainnya yang tak kalah penting adalah tembakau. Komoditi ini merupakan komoditi ekspor andalan bagi Kabupaten Jember, baik tembakau jenis Besuki Na-Oogst maupun Besuki Voor-Oogst. Luas lahan tembakau Jember saat ini mencapai 13.798 ha. Tembakau hasil perkebunan Jember masih mampu bersaing di pasaran dunia. Produk cerutu asal Jember misalnya, dinilai bagus untuk komoditi ekspor. Bahkan tembakau hasil perkebunan di Jember memiliki kualitas ekspor yang salah satunya dikirim ke pusat tembakau dunia, yaitu di Bremen, Jerman.
Salah satu lahan perkebunan milik masyarakat itu adalah Mbaban Silosanen, tempat eksplorasi tambang emas dipusatkan dan merupakan pusat produk kopi masyarakat. Untuk satu hektar lahan kopi bisa dihasilkan 1 – 2 ton buah kopi. Harga komoditi ini dipasaran mencapai lima ribu rupiah per kilogram. Dari satu hektar lahan perkebunan kopi, masyarakat bisa mendapatkan penghasilan 3 – 5 juta per panen. Masyarakat lebih membutuhkan ahli pengolahan hasil hasil produk pertanian, terutama kopi daripada ahli tambang emas di daerah ini. Kebun kopi rakyat ini bahkan berhasil mengantarkan haji massal dari Silo ke Mekkah pada tahun 1998.
Ada 6 buah perkebunan swasta yang berhimpitan bahkan masuk dalam bagian kawasan atau enclave Meru Betiri. Buruh kebun menjadi bagian yang tak terpisahkan begitu saja dari kawasan Taman Nasional. Mereka memanfaatkan kawasan Taman Nasional untuk mencari rumput, kayu, rotan, madu dan burung. Perkebunan ternyata juga dihidupi oleh hutan, ketersediaan air di kawasan perkebunan sepenuhnya bergantung kepada kawasan hutan yang menyediakan sumber air bersih.
Hasil Hutan
Hasil hutan Meru Betiri sangat beragam, terutama jenis tanaman obat. Biasanya mereka memiliki musim panen berbeda. Hampir setiap tahun tidak ada waktu kosong bagi pengambilan hasil hutan. Nilai ekonomi dan tataniaga tumbuhan obat pada tingkat pengumpulan mencapai lebih dari Rp 60.789.000 per musim panen. Mujenah, 1993, menemukan data bahwa dari kegiatan pemungutan tumbuhan obat tersebut, para pengumpul yaitu masyarakat sekitar kawasana taman nasional, memperoleh tambahan pendapatan sebesar 13,6 persen dari pendapatan pokoknya. Bulan Mei hingga Juni adalah musim panen madu hutan dan buah pakem atau Pangium edule. Pada bulan tersebut Pakem yang bisa dipanen bisa mencapai 3.021 kg. Atau pada musim panen tumbuhan obat jenis kedawung, bisa dihasilkan 2.074 kg, jenis joholawe sebanyak 1930 kg dan jenis kemukus mencapai 556 kg. Belum lagi jenis lainnya seperti cabe jawa ataupun pule pandak yang merupakan bahan dasar pembuatan semua jenis jamu. Juga pendapatan dari beragam hasil hutan lainnya seperti buah aren, salak, durian, rotan, kemiri, kolang kaling, bunga padmosari, cabe hutan, kedondong, ijuk, daun pisang atau berbagai jenis burung.
Bambu dan Kayu
Salah satu tipe khas hutan Meru Betiri adalah hutan bambu. Hutan inilah yang banyk dikunjungi masyarakat untuk diambil bambunya, baik untuk keperluan sendiri atau komersil. Hutan Meru Betiri memenuhi hampir seratus persen kebutuhan bambu masyarakat sekitar kawasan dan kebun sekitarnya. Padahal kebutuhan bambu daerah Jember sebesar lebih dari 10 juta batang per tahun. Sebagian besar kebutuhan tersebut dipenuhi oleh hutan bambu Meru Betiri. Kayu digunakan masyarakat untuk bahan membuat rumah, juga dimanfaatkan sebagai bahan bakar rumah tangga dan industri rumah tangga, misalnya untuk bahan bakar pabrik tahu, tempe dan genting, serta kerajinan. Kayu dan bambu ini bagi masyarakat Andongrejo, merupakan komoditi penting yang paling banyak menghasilkan uang.
Disamping potensi tanaman dan hewan, potensi tak hidup juga menjadi bagian dari interaksi masyarakat desa penyangga dengan TN. Meru Betiri. Sketsa kebun, transek, peta desa menunjukkan interaksi yang cukup erat antara keduanya baik secara langsung maupun sebaliknya. Sudah sejak lama masyarakat menggunakan air sungai yang berhulu di hutan Meru Betiri sebagai tempat untuk mandi, mencuci, mengairi sawah, air minum bahkan juga alat transportasi. Air ini juga menghidupi kebun kebun di sekitarnya. Saat kemarau datang dimana sumber air di desa kering, beberapa mata air di kawasan hutan masih menyediakan air dengan ikan dan udang yang hidup di dalamnya.
http://betiri.blogspot.com/2010/04/meru-betiri-sumber-hidup-masyarakat.html
No comments:
Post a Comment