PEMANENAN LEBAH HUTAN (Apis dorsata binghami)
Oleh: Rini Purwanti*)
Pendahuluan
Apis dorsata yang biasa disebut lebah hutan sampai saat ini diketahui mempunyai tiga sub spesies yakni Apis dorsata dorsata, Apis dorsata binghami, dan Apis dorsata breviligula. Dari ketiga sub spesies ini hanya dua yang terdapat di Indonesia yakni Apis dorsata dorsata yang terletak di wilayah Indonesia Bagian Barat mulai Sumatra, Kalimantan, Jawa dan sekitarnya dan Timor Timur serta Apis dorsata binghami yang hanya terdapat di Sulawesi. Jenis
lebah ini membuat sarang di tempat terbuka dimana sinar matahari dapat
masuk atau setidak-tidaknya masih ada celah terbuka. Satu pohon biasanya dihuni oleh puluhan sarang, kecuali sub spesies yang berada di Sulawesi (Apis dorsata binghami) dan Filipina (Apis dorsata breviligula). Di Timor Timur pernah dilaporkan ada satu pohon yang dihuni oleh 126 sarang Apis dorsata dorsata (Departemen Kehutanan, 1998).
Apis dorsata binghami tidak seperti A. mellifera maupun A. cerana atau A. nigrocincta, yang merupakan jenis lebah madu yang dapat dibudidayakan di dalam kotak-kotak pemeliharaan buatan manusia. Apis dorsata binghami umumnya ditemukan di dalam atau sekitar kawasan hutan atau di kampung-kampung yang berbatasan dengan hutan. Sarangnya menggantung pada bagian bawah cabang pohon besar dengan ketinggian ± 20 meter. Dalam satu pohon biasanya hanya dihuni oleh 1 – 2 sarang lebah, sementara untuk Apis dorsata dorsata, satu pohon bisa dihuni sampai puluhan sarang. Di Sulawesi, sarang lebah hutan umumnya ditemukan pada pohon mangga (Mangifera indica L.), sukun (Artocarpus communis Forst.), durian (Durio zibethinus Murr.), kapuk randu (Ceiba pentandra Gaertn.) dan aren (Arenga pinnata) (Soenarno dkk, 2002).
Pemanenan Madu Lebah Hutan
Di
Sulawesi masih banyak ditemukan sarang lebah hutan, tetapi kegiatan
pemanenannya selama ini masih bersifat tradisional yaitu melakukan
pengasapan atau pembakaran untuk mengusir lebah lalu memotong habis seluruh sarang lebah tanpa menyisakan anakannya. Hal
ini bisa mengakibatkan kepunahan dari lebah hutan ini karena anakan
lebah yang seharusnya masih bisa berkembang, ikut juga diambil.
Pengasapan juga bisa mengakibatkan ratu lebah mati atau ratu tidak dapat
berkumpul dengan koloninya sehingga mengakibatkan kepunahan dari koloni
tersebut. Cara panen semacam ini juga
mengorbankan seluruh anakan lebah, sehingga menghambat proses regenerasi
dan perkembangan populasi koloni (Setiawan, 2004). Kegiatan pemanenan biasanya dilakukan oleh masyarakat pada pagi hari (05.30 – 07.00). Hal
ini disebabkan karena pada pagi hari lebah pekerja sudah mulai keluar
untuk mencari makan dan belum kembali pada jam-jam tersebut sehingga
lebih aman untuk melaksanakan kegiatan pemanenan, sedangkan pada jam
8.00 ke atas lebah pekerja sudah mulai pulang dari mencari makan dan
biasanya lebih ganas.
Kegiatan pemanenan madu dilakukan dengan bagi hasil antara pemilik pohon inang dengan pawang lebah. Hasil perolehan madu dibagi 2 bagian yang sama. Pemanenan
dilakukan dengan memanjat pohon oleh pawang lebah yang umumnya
merupakan satu kelompok kecil terdiri sekurang-kurangnya dua orang. Dalam
kelompok kecil tersebut terjadi pembagian tugas antara lain pemanjatan,
pelayanan dibawah selama pemanjatan dan pengangkutan hasil keluar
hutan. Untuk memudahkan pemanjatan pohon, pawang lebah menggunakan tangga. Peralatan yang dipergunakan dalam pemanenan berupa pisau untuk mengiris sarang, ember bertali, dan pengasap (sulo) yang terbuat dari sabut kelapa yang dibalut dengan daun kelapa basah di bagian luarnya untuk menghasilkan asap yang banyak. Agar
sang pawang tidak disengat lebah, dia menggunakan celana panjang, baju
tebal (jaket), topi dan masker untuk menutupi wajahnya agar tidak
tersengat lebah.
Bagaimana Agar Lebah Kembali Lagi Ke Sarang?
Berdasarkan
hasil wawancara dengan beberapa orang pawang lebah, mereka menyatakan
bahwa terdapat beberapa cara yang dilakukan oleh pawang
lebah agar lebah yang telah diasapi dan diusir tadi mau kembali lagi ke
pohon inangnya dan membangun kembali sarangnya, yaitu :
1. Mengolesi
batang tempat sarang lebah dengan gula merah, dengan alasan untuk
mengganti madu yang telah diambil tadi karena jika madu telah diambil
semua maka tidak ada lagi makanan lebah di atas pohon itu. Oleh sebab itu, dengan mengoleskan gula merah di dahannya tadi diharapkan bisa sedikit menggantikan makanan cadangan lebah.
2. Membaca
doa dan melakukan ritual-ritual dengan tujuan agar lebah tidak marah
dan menyengat pawang serta mau kembali lagi ke sarangnya semula. Adapun beberapa gerakan dalam ritual yang biasa dilakukan adalah sebagai berikut :
- Pada saat membaca doa, dia menempelkan bagian bawah telapak tangannya dekat ibu jari. Ini maksudnya untuk minta ijin pada pohon dan dengan maksud agar isi yang didapat.
- Mengelus-elus pohon selama 3 kali dengan gerakan dielus dari bawah ke atas. Dengan maksud agar lebah tidak terbang ke bawah tapi kembali ke atas, dan juga diharapkan ada peningkatan hasilnya.
- Mendorong pantat ke atas, maksudnya agar lebah tidak dengan gampang mengeluarkan sengatnya terhadap pawang. Kenapa pantat yang dipegang, karena sumber sengatan asalnya dari arah pantat lebah.
- Menghadap ke arah asal sarang/posisi sarang berada dan tidak boleh membelakanginya karena bisa mengakibatkan lebah marah.
- Pada hari jum’at tidak boleh melakukan pemungutan madu, kecuali dalam keadaan terpaksa. Kalaupun harus memanen, maka setelah selesai memanen, maka dia akan melakukan ritual lagi yaitu duduk dibawah pohon sambil membaca mantera. Tujuannya yaitu agar lebah tetap kembali lagi ke tempat asalnya.
Berdasarkan
cara-cara yang dilakukan oleh pawang lebah di atas, beberapa lebah
memang masih ada yang mau kembali ke sarangnya semula untuk membangun
sarangnya kembali, tetapi ada juga yang kembali ke pohon inangnya dan
membangun lagi sarangnya tetapi tidak dibekas sarang yang telah dipanen
tadi, tetapi pindah ke dahan yang lain. Selain itu, sarang yang dibangun kembali juga ukurannya biasanya jauh lebih kecil dibandingkan dengan sarang semula.
Bagaimana Panen Lebah yang Seharusnya?
Beberapa
pemungut madu telah dapat menerapkan teknis pemanenan madu lebah hutan
secara benar sehingga kelestarian lebahnya dapat lebih terjamin yang
dikenal dengan teknik sunat (Departemen Kehutanan, 2003). Prinsip
dari teknik sunat adalah hanya mengambil/mengiris bagian sarang yang
berisi madu saja dan meninggalkan sebanyak-banyaknya bagian sarang yang
berisi telur, larva, pupa lebah dan tepung sari. Pada bagian sarang yang berisi madu yang telah diambil, segera dibangun kembali oleh lebah hutan. Selain
hal tersebut agar kelestarian lebah hutan dapat lebih terjamin maka
perlu dihindari terjadinya pembakaran sarang pada saat pengasapan.
Pemanenan Lebah Madu
Penelitian
mengenai teknik panen sunat ini sebetulnya sudah pernah diuji cobakan
oleh Purwanti dkk (2006) di Kabupaten Polman, Sulawesi Barat. 12
koloni lebah hutan siap panen diuji coba, 4 koloni dipanen tradisional,
4 koloni dipanen sunat dengan batang bekas sarang dibersihkan, dan 4
koloni dipanen sunat dengan batang bekas sarang tidak dibersihkan. Hasilnya
2 dari 4 koloni yang dipanen tradisional masih kembali, sedangkan
dengan sistem sunat baik yang dibersihkan batangnya maupun yang tidak
ternyata hanya 1 saja yang kembali. Tetapi hal
ini belum bisa dijadikan patokan bahwa sistem sunat tidak efektif untuk
diterapkan di Sulawesi mengingat penelitian baru sekali dilakukan selain
itu juga karena memang ada beberapa kesalahan yang dilakukan oleh
pawang saat melakukan pemanenan seperti menggunakan pengasapan dengan
api yang menyala serta terlalu banyaknya anakan yang dipotong saat panen
sunat. Oleh sebab itu masih perlu dilakukan uji
coba lagi dengan mengambil lokasi yang berbeda serta mengeliminir
kesalahan-kesalahan yang terjadi pada saat pemanenan.
Penutup
Sumber: https://darmatin.blogspot.co.id/2009/05/pemanenan-lebah-hutan-apis-dorsata.html?showComment=1481730256522#c4640070121798337390
No comments:
Post a Comment